Sebuah kebetulan jika jatuhnya peringatan hari bumi 22 April selang satu hari setelah Hari Kartini, 21 April. Peringatan hari bumi mengundang keterlibatan warga bumi untuk menyelamatkan bumi, sementara peringatan hari kartini mengambil kisah perjuangan emansipasi perempuan. Ternyata, dari sisi pelajaran, keduanya memiliki korelasi yang begitu erat.
Keduanya lahir dari perjuangan panjang. Peringatan hari bumi lahir dari kegelisahan dan perjuangan Gaylord Nelson, senat negara bagian Wisconsin 1948, Senat Amerika 1962, atas kondisi lingkungan yang rusak, seperti industri yang menimbulkan polusi, tumpahan minyak di California dan perang dunia yang merusak lingkungan.
Peringatan hari bumi pertama 1970 ditandai aksi demonstrasi dan protes yang mengangkat isu hilangnya hutan belantara, tumpahan minyak, polusi udara dan penggunaan pestisida.
Peringatan ini menandai gerakan lingkungan modern yang membangun kesadaran masal dan diikuti lahirnya organisasi lingkungan seperti the Environmental Action di Washington, 1970, Greenpeace 1971, Environmentalist for Full Employment 1975 dan the Worldwatch Institute 1975. Kini, dunia internasional memperingati hari bumi sebagai komitmen penyelamatan bumi.
Sementara itu, perjuangan Kartini lahir dari kegelisahannya atas harkat perempuan dan nasib sebagai bangsa yang terjajah. Kritik Kartini yakni pada budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kelas pertama dan menyebabkan perempuan sulit mengakses pendidikan.
Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya menulis,” Kartini memberikan seruan, pekikan dan jeritan tentang pendidikan sebagai protes terhadap perlakuan para penguasa atas rakyatnya (Pramoedya, 2018: 141)”. Pandangan Kartini tentang emansipasi, teologi dan seni bisa dikatakan melampaui zamannya (Jawa Pos, 20 April 2019). Kegigihan Kartini akhirnya menuai hasil. Kini perempuan Indonesia bisa menikmati kesetaraan dengan laki-laki.
Perempuan dan Penyelamatan Bumi
Literatur sosiologi lingkungan menyatakan, perempuan dan nilai-nilai perempuan (keperempuanan) “berkontribusi” pada penyelamatan bumi. Etika ekofeminisme menyatakan, keperempuanan merupakan basis gerakan sosial karena di bawah penindasan ideologi patriarki, bumi dan perempuan memiliki kesamaan sebagai obyek eksploitasi.
Uniknya praktik penindasan ini, justru menjadi inspirasi gerakan sosial. Tidak heran lahir gerakan-gerakan lingkungan seperti gerakan Chipko di Himalaya, India pada 1970, Gerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement) 1977 di Nairobi, Kenya dan Penolakan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng sejak 2008-sekarang.
Dalam Gerakan Chipko, perempuan melindungi 12.000 km areal hutan dan komunitas dengan cara memeluk pohon-pohon mereka. Tokoh feminisme, Vanda Shiva menyatakan Chipko adalah kebangkitan kekuatan perempuan dan keprihatinan ekologis (Shiva, 1989,p. 68).
Gerakan Sabuk Hijau di Nairobi, Kenya diinisiasi tokoh perempuan bernama Wangari Maathai, seorang dokter hewan yang sering bekerja di wilayah miskin Afrika. Bersama kelompok miskin ia menginisiasi kegiatan-kegiatan merawat bumi dengan kampanye penanaman pohon, ketahanan pangan, panen air, pendidikan kewarganegaraan dan advokasi lingkungan.
Di Indonesia, kedua gerakan tersebut menginspirasi perjuangan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dalam menolak rencana pembangunan pabrik semen baik di Pati maupun Rembang. Gerakan ini tidak murni gerakan perempuan, sekalipun demikian tidak akan besar tanpa keterlibatan perempuan, seperti Sunarti yang selalu muncul di publik mewakili aspirasi kelompok penentang.
Dalam aksi protes, 21 Maret 2017, aktor perempuan lain, Patmi meninggal dunia pasca ditemui oleh staf ahli Presiden. Gerakan ini masif yang ditunjukkan dari dukungan luas dari kelompok-kelompok peduli lingkungan dan media.
Etika Merawat Bumi
Hari ini ibu pertiwi masih “menangis” karena laju kerusakan bumi tidak bisa dikendalikan. Hal ini ditunjukkan dari besarnya laju pembabatan hutan, pencemaran lingkungan dan menumpuknya sampah plastik di semua wilayah, menipisnya lapisan ozon di sebagian besar belahan bumi.
Ide-ide keperempuanan merupakan solusi untuk penyelamatan bumi. Nilai-nilai ini membebaskan hak-hak perempuan dari dominasi patriarki yang merusak bumi, seperti: pertama, pikiran hirarkis yang menomersatukan nilai materialis-pragmatis, gaya hidup dan kebutuhan manusia di atas keselarasan alam dan lingkungan.
Kedua, dualisme yang menyatakan hubungan antar makhluk sebagai oposisional, bukan saling melengkapi. Manusia diposisikan sebagai penguasa alam dan alam harus menjadi obyek eksploitasi.
Ketiga, logika kembar yang melanggengkan dominasi karena ia mendasari penguasaan manusia atas perempuan dan bumi. Dalam logika ini perempuan dan bumi diposisikan lemah dan subordinat.
Untuk itu nilai-nilai keperempuanan harus mendasari gerakan penyelamatan bumi hari ini. Nilai ini meletakkan lingkungan pada posisi pertama dan lebih diprioritaskan dari pada kebutuhan lain. Nilai ini akan membimbing pada sikap bahwa merawat bumi bukan karena kita membutuhkan bumi, tetapi karena menghormati hak-hak asasi lingkungan dan menjamin hak hidup alam tersebut.
Akhirnya, tanpa pengakhiran dominasi patriarki, bumi tidak bisa diselamatkan. Sebaik apa pun kegiatan konservasi apakah penanaman pohon, pengelolaan sampah maupun konservasi air ketika nilai-nilai keperempuanan dan ekologis tidak hadir, niscaya semua itu sia-sia. Bukankah banyak gerakan lingkungan lahir-tumbuh, tetapi tumbang di tengah jalan?
.
.
Oleh :
Rachmad K. Dwi Susilo, MA, Ph.D
(Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam, Prodi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Alumni Hosei University, Tokyo dan
Pendamping Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) Kota Batu)
Add a Comment